Jakarta (harianSIB.com)Sebagian besar kemasan galon air minum yang beredar di masyarakat berisiko terkontaminasi
senyawa kimia berbahaya
Bisfenol A (
BPA). Hal ini diungkapkan
Ema Setyawati, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan
BPOM, dalam penjelasannya mengenai peraturan baru yang mewajibkan pelabelan bahaya
BPA pada galon air minum bermerek.
"Pengaturan ini dilakukan untuk melindungi masyarakat," ujar Ema pada Senin, 12 Agustus 2024, dalam pres rilis yang diterima harianSIB.com.
Dijelaskannya, peraturan yang mulai berlaku pada 5 April 2024 ini menambahkan dua pasal baru dalam peraturan Label Pangan Olahan. Pasal 48a mewajibkan pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan, sementara Pasal 61A mengharuskan produsen mencantumkan label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum yang menggunakan kemasan polikarbonat. Aturan ini akan sepenuhnya diberlakukan setelah masa tenggang berakhir pada 2028.
Ema menjelaskan, kemasan polikarbonat yang paling umum digunakan dapat melepaskan BPA ke dalam air minum jika proses pencucian dan distribusi tidak dilakukan dengan benar. Risiko ini meningkat ketika galon dipanaskan, digosok, atau terpapar sinar matahari langsung dalam waktu lama.
BPA telah dikaitkan dengan berbagai gangguan kesehatan seperti gangguan reproduksi, diabetes, obesitas, penyakit kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, serta gangguan perkembangan mental dan autisme pada anak.
BPOM menetapkan ambang batas aman migrasi BPA dari kemasan polikarbonat sebesar 0,6 mg/kg. Namun, riset BPOM pada 2021-2022 menunjukkan adanya migrasi BPA yang melebihi ambang batas tersebut di beberapa provinsi.
Ema juga menyoroti otoritas keamanan pangan di berbagai negara, termasuk European Food Safety Authority, telah memperketat batas aman paparan BPA, menurunkan nilai Tolerable Daily Intake (TDI) hingga 20.000 kali lebih rendah.
Kebijakan pelabelan ini, menurut Ema, didorong oleh kebutuhan untuk melindungi kesehatan publik, mengingat besarnya jumlah konsumen air galon di Indonesia yang mencapai 50,2 juta orang, atau sekitar 18% dari populasi pada 2020.
"Melihat risiko kesehatan dan data yang ada, BPOM merasa perlu segera mengatur pelabelan air minum dalam kemasan (AMDK)," tutup Ema. (**)